Artikel NYTimes hari ini dengan judul “Mobile Web: So Close Yet So Far” benar-benar buat patah hati,
In 2000, the wireless application protocol was supposed to bring the Internet to the cellphone. Our hero turned out to be a flash in the pan. That was attributed to a lack of high-speed cellular data networks, so a frenzied and costly effort to build third-generation, or 3G, networks ensued. But at a recent conference, 3G was called “a failure†by Caroline Gabriel, an analyst at Rethink Research. She said data would make up only 12 percent of average revenue per user in 2007, far below the expected 50 percent. (The 12 percent figure does not include text messaging, but you don’t need a 3G network to send a text message.)
Sebegitu parahkah 3G? well, saya tidak tahu persis angka penggunaannya di Indonesia. Tapi saya sempat ngobrol dengan salah satu eksekutif dari market leader seluler di Indonesia, ternyata penggunaan 3G di Indonesia sangat kecil. Pengadaan 3G oleh perusahaannya sendiri bukan karena tuntutan pasar, tapi lebih karena “biar ada” agar tidak kalah dengan kompetitor seluler lainnya. Sebenarnya secara hitung-hitungan mereka merugi dengan jualan 3G.
Kalau kecepatan data sudah tidak bisa diandalkan, maka fitur yang mempercantik web yang biasanya membutuhkan ukuran file besar tidak bisa dipakai di mobile web. iPhone sendiri membawa Safari yang tidak mendukung Flash. Dan kita mesti bayar mahal untuk itu.
Kalau sudah begini web designer tidak lagi tertarik dengan mobile web, yang tinggal hanya web programmer seperti saya yang lebih mementingkan kecepatan dari keindahan, hahaha. Yang ternyata pas dengan kenyataan mobile web saat ini.
Wajar kalau user experience dari mobile web jadi seadanya,
“The user experience has been a disaster,” says Tony Davis, managing partner of Brightspark, a Toronto venture capital firm that has invested in two mobile Web companies.
Tapi saya tidak setuju kalu mobile web dibilang tidak ada masa depan. Manusia akan selalu menginginkan sesuatu yang praktis, cepat dan bisa diandalkan. Tidak terhitung pengalaman kita sehari-hari dimana kita butuh web di waktu dan tempat yang tidak memungkinkan untuk memakai laptop atau PC.
NYT sendiri punya NYTimes River yang bisa diakses via mobile. Dan ternyata sangat berguna dan banyak dipakai oleh orang New York yang banyak waktunya dihabiskan di subway train, tanpa internet, tanpa laptop/PC.
Mobile web yang memiliki utilitas tinggi akan selalu diperlukan. Biarpun tidak seindah web yang kita lihat di PC. Developer mobile web untuk saat ini hanya butuh menterjemahkan dan mengaplikasikan utilitas itu.
Jadi nggak usah muluk-muluk dengan membuat aplikasi untuk menyiarkan siaran langsung Liga Inggris lewat handphone misalnya, karena orang akan lebih milih menjual handphonenya untuk langganan Astro (damn astro!). Tapi buatlah feed reader yang selalu mengupdate score pertandingan secara live, lebih bagus kalu ada komentar pertandingannya. Betul?
Ada satu hal yang “luput” dibahas di artikel itu, yaitu konteksnya.
Konteks di Amerika; carriers sangat powerful & “jumud”.
Karena itu bisa sampai ada kutipan seperti ini : AT&T has allowed Apple unusual control over the network in the iPhone, walaupun iPhone masih locked ke AT&T, namun sudah dianggap luar biasa.
Ajaib jika kita bandingkan dengan bahkan Indonesia, dimana kita bisa bebas membeli HP tanpa dikunci ke carrier tertentu.
Ini berbeda total dengan seperti Jepang, dimana carriers membuka peluang kolaborasi yang sebesar2nya. Alhasil, content multimedia sangat lazim untuk dinikmati dari handphone kita.
Situasi di Indonesia agak mendingan, misalnya disini kita masih bisa mendapatkan handphone yang unlocked / tidak terikat dengan carrier tertentu.
Namun, para carrier masih mengenakan biaya akses yang na’udzubilah mahalnya (baca: rakus, anti kompetitif, dan ada kecenderungan kartel).
Sehingga ya saya heran kenapa mereka heran bahwa mobile web tidak berkembang di Indonesia, he he.
Mungkin itu satu perspektif lainnya, thanks.