Weekend Project

Saya suka tulisan ini, 52 reasons why Programmers work on weekends. Semua yang saya alami ketika mesti bekerja di akhir pekan dan semua yang bisa saya pikirkan kenapa seorang programmer mesti bekerja di akhir pekan ada di situ.

Namun alasan yang paling tepat menurut saya adalah alasan ke 35:

Programmers don’t really consider what they do to be ‘working’ – but rather having fun. That’s what weekends are for right?

Too right. Bagi saya, weekend tidak ada bedanya dengan hari kerja. Selalu penuh happy hour buat coding. Cuma saat weekend memang lebih menyenangkan karena tidak ada gangguan dari klien yang rewel. Haha.

Ini mestinya jadi warning bagi kita semua. Sudah jadi pandangan umum di masyarakat kita kalau “bekerja” itu berbanding terbalik dengan “having fun”. Mangkanya ada hari kerja untuk bersusah-susah dan ada weekend untuk bersenang-senang.

Sejak kecil kita sudah ditanamkan kalau bekerja itu jauh dari menyenangkan. Peras keringat – banting tulang, itu yang sering dibilang orang. Mengerikan.

Padahal, bekerja mestinya menyenangkan. Bahkan “menyenangkan” itu mestinya jadi syarat utama kalau perusahaan ingin hasil terbaik. Bukankah pekerjaan yang dilakukan karena rasa suka akan menghasilkan sesuatu yang berkualitas?

Google adalah salah satu perusahaan yang mengerti benar hal ini. Filosofi mereka yang terkenal adalah:

You can be serious without a suit.

Google’s founders have often stated that the company is not serious about anything but search. They built a company around the idea that work should be challenging and the challenge should be fun.

Setiap pegawai Google diberikan kebebasan untuk menggunakan 20% dari waktu kerjanya mengerjakan project sendiri yang mereka sukai, yang terkenal dengan “20-percent project”. Orkut, Google Adsense, Google Desktop, Gmail, Google News dan masih banyak lagi produk Google lainnya adalah hasil dari 20-percent project ini.

Saya pernah mengusulkan teknik 20-percent project ini ke perusahaan tempat saya bekerja. Tanggapannya hangat di awal, kemudian dingin dan menguap begitu saja. Wajar, Google bisa seperti itu karena mereka punya produk andalan search engine dan ads yang cukup untuk menggaji semua pegawai biarpun waktu kerja efektifnya cuma 80% dari seharusnya.

Tapi budaya fun terus kita tingkatkan. Setidaknya itu yang saya tanamkan pada rekan-rekan programmer lainnya. Setiap permasalahan dalam pekerjaan selalu kita anggap sebagai tantangan untuk selalu mencari cara baru, tools baru, bila perlu bahasa pemrograman baru untuk memecahkannya. Asal tidak menimbulkan masalah baru tentunya, haha.

Project ala 20-percent project-nya Google pun mulai kita galakkan. Walaupun lebih tepatnya, weekend project. Dimana setiap pegawai bisa memanfaatkan waktu weekend nya untuk mengerjakan project yang dia sukai sampai berbentuk beta version untuk kemudian dipresentasikan ke manajemen. Kalau dinilai bagus dan bernilai jual akan dibeli oleh perusahaan.

Biarpun nggak persis sama dengan Google, tapi semangatnya kan dapet. 😉

Yet Another Geek Test

Just when i thought i’ve had enough of this, a guy showed me this geek test. Since i’m practical man, i thought hey i got nothing to loose. So i took the test (again) and here’s my score:

0% Geek

Hah, i got 0% geek. That means i’m too geeky to be a geek. Which puts me into the highest rank of the geekdom. Maybe something like capo di tutti capi of geekster. Ha ha ha.

Mobile Web: Begitu Dekat, Begitu Jauh

Artikel NYTimes hari ini dengan judul “Mobile Web: So Close Yet So Far” benar-benar buat patah hati,

In 2000, the wireless application protocol was supposed to bring the Internet to the cellphone. Our hero turned out to be a flash in the pan. That was attributed to a lack of high-speed cellular data networks, so a frenzied and costly effort to build third-generation, or 3G, networks ensued. But at a recent conference, 3G was called “a failure” by Caroline Gabriel, an analyst at Rethink Research. She said data would make up only 12 percent of average revenue per user in 2007, far below the expected 50 percent. (The 12 percent figure does not include text messaging, but you don’t need a 3G network to send a text message.)

Sebegitu parahkah 3G? well, saya tidak tahu persis angka penggunaannya di Indonesia. Tapi saya sempat ngobrol dengan salah satu eksekutif dari market leader seluler di Indonesia, ternyata penggunaan 3G di Indonesia sangat kecil. Pengadaan 3G oleh perusahaannya sendiri bukan karena tuntutan pasar, tapi lebih karena “biar ada” agar tidak kalah dengan kompetitor seluler lainnya. Sebenarnya secara hitung-hitungan mereka merugi dengan jualan 3G.

Kalau kecepatan data sudah tidak bisa diandalkan, maka fitur yang mempercantik web yang biasanya membutuhkan ukuran file besar tidak bisa dipakai di mobile web. iPhone sendiri membawa Safari yang tidak mendukung Flash. Dan kita mesti bayar mahal untuk itu.

Kalau sudah begini web designer tidak lagi tertarik dengan mobile web, yang tinggal hanya web programmer seperti saya yang lebih mementingkan kecepatan dari keindahan, hahaha. Yang ternyata pas dengan kenyataan mobile web saat ini.

Wajar kalau user experience dari mobile web jadi seadanya,

“The user experience has been a disaster,” says Tony Davis, managing partner of Brightspark, a Toronto venture capital firm that has invested in two mobile Web companies.

Tapi saya tidak setuju kalu mobile web dibilang tidak ada masa depan. Manusia akan selalu menginginkan sesuatu yang praktis, cepat dan bisa diandalkan. Tidak terhitung pengalaman kita sehari-hari dimana kita butuh web di waktu dan tempat yang tidak memungkinkan untuk memakai laptop atau PC.

NYT sendiri punya NYTimes River yang bisa diakses via mobile. Dan ternyata sangat berguna dan banyak dipakai oleh orang New York yang banyak waktunya dihabiskan di subway train, tanpa internet, tanpa laptop/PC.

Mobile web yang memiliki utilitas tinggi akan selalu diperlukan. Biarpun tidak seindah web yang kita lihat di PC. Developer mobile web untuk saat ini hanya butuh menterjemahkan dan mengaplikasikan utilitas itu.

Jadi nggak usah muluk-muluk dengan membuat aplikasi untuk menyiarkan siaran langsung Liga Inggris lewat handphone misalnya, karena orang akan lebih milih menjual handphonenya untuk langganan Astro (damn astro!). Tapi buatlah feed reader yang selalu mengupdate score pertandingan secara live, lebih bagus kalu ada komentar pertandingannya. Betul?

Detikcom itu

Pernyataan Ronny ini benar-benar mewakili uneg-uneg saya, bukan cuma pada Detikcom, tapi kebanyakan situs berita di Indonesia. Cuma saya nggak tega untuk mengatakannya langsung, jadi ngutip aja deh:

Oh, satu lagi kehebatan detikcom: pinter bikin pembacanya annoyed. Iklan yg jumlahnya seabreg-abreg, beranimasi pula, gak ada RSS/Atom feed, sok mau disable right click, tampilan layout yang bikin mata sakit, a complete web design disaster.

Saya mengerti kalo kebanyakan situs berita berusaha untuk memproteksi isi beritanya, karena itu “barang jualan” utama mereka. Tapi men-disable right-click atau tidak menyediakan RSS/Atom menurut saya malah semakin mengesankan – maaf – ketertinggalan terhadap teknologi.

Bukankah feed juga bisa diselipkan iklan dan bisa dicatat pengguna/pembacanya. Jadi bukannya tidak terkontrol begitu saja. Saya yakin pembaca news feed nggak kalah banyak dengan pembaca di situsnya langsung. Bahkan bisa jadi lebih banyak. Belum lagi kalu situs agregasi berita seperti Google News ikut menampilkan juga.

Social Network with the least downtime, guess what?

Social network means millions of users. Millions of users means millions of page views. Millions of page views means millions of dollars revenue. So when social network website gets down, they lost lots of money. And every second counts.

Royal Pingdom measured the uptime of 12 popular social networks – MySpace, Facebook, LiveJournal, Orkut, Friendster, Windows Live Spaces, Xanga, Bebo, Last.fm, Reunion.com, Classmates.com and Yahoo! 360 – over a three month period.

The result is quite impressive to me. I’m delighted with the fact that social networks today is very reliable. Much more reliable than i thought.

Half of the social network in that research only having less than an hour downtime (remember, in three months period). Yahoo! 360 even has zerro downtime. Facebook took the second place with 10 minutes downtime. Great.

And our old friend’s social network, Windows Live Spaces, as you might have guessed, has the longest downtime (3 hours). Ouch..

The Bugs of the Opera

I love Phantom of the Opera, but i can’t stand with the bugs of the Opera. See this? i couldn’t see things with my Google Reader, Opera broke the layout when the entry includes video. And they listed Opera as A-Grade browser, come on.

bugsopera.jpg

He he .. hi hi .. ha ha ..

Saat ini saya tengah terlibat dalam pengerjaan project dengan salah satu rekanan di luar negeri. Ini bukan yang pertama kali bagi saya, tapi karena kali ini kita hampir tiap hari berkomunikasi lewat Skype , ada hal baru yang mengubah cara kami berkomunikasi. Salah satunya adalah ketika bergurau di Skype.

Kebiasaan orang Indonesia ketika tertawa dalam chatting adalah menggunakan “he..he..” atau “hi..hi..”. Namun ini jadi tidak benar kalau berbicara dengan orang luar sana. Karena “he” itu bermakna dia (lelaki). Dan “hi” itu biasa digunakan dalam menyapa.

Ini mungkin terlihat remeh, tapi kalau ditambah dengan bahasa inggris yang pas-pasan (pas bicara pas nggak bisa) dan koneksi internet yang lambat bin snaily , bisa menimbulkan kesalahfahaman yang berakibat fatal.

Jadi untuk lebih aman dan memang biasa digunakan di luar sana, mulailah membiasakan untuk pakai “ha..ha..”.

Tapi mesti hati-hati juga, karena “ha..ha..” bisa berarti tertawa karena ada yang lucu, tapi bisa juga berarti ejekan kalau nggak ada yang lucu. Jadi teuteup, kudu able to speak english mate

!.

Demikian tips yang nggak penting ini, mudah-mudahan bermanfaat, he..he..he.. oops ha..ha..ha..